8 Mei 2010

Rumah Sabut di Lampung

Belasan Rumah Atap Sabut Berusia Ratusan Ada di Lampung
Empat belas rumah “sabukh” (rumah atap sabut) yang berada di Pekon (Desa) Hujung, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat, telah berumur ratusan tahun.

Salah satu pemilik rumah, Bustoni (60), di Lampung Barat, Jumat, menguraikan, rumah “sabukh” yang ditempati sudah empat generasi mendiaminya.

“Rumah ini sudah ada sejak nenek moyang kami, membuka hutan dan mendirikan rumah sekitar tahun 1867, dan sudah di huni empat generasi, rumah yang didiami tergolong kuat, karena berasal dari kayu dan bambu kualitas baik, selain itu kayu yang dipilih yakni jenis kayu klutum dan kayu medang dengan kondisi masih glondongan,” kata dia.

Kemudian, lanjutnya, ciri khas dalam rumah peninggalan lama, yakni atap rumah yang di buat dari ijuk, atau sabut aren.

“saat ini sudah jarang rumah masyarakat Lampung yang atapnya terbuat dari ijuk aren, selain sulitnya untuk mendapatkan bahan baku, warga saat ini lebih senang yang instan,” katanya.

Menurut dia, walaupun terkesan kumuh dan kuno, tetapi rumah ini mahal.

“Rumah yang kami miliki memang terkesan kumuh, akan tetapi rumah tersebut mempunyai nilai seni yang tinggi yang ditunjang dengan nilai historis, membuat rumah ini tidak ternilai harganya,” kata dia lagi.

Namun, rumah “sabukh” tidak akan dijual pada orang lain.

“Saya tidak akan menghilangkan sejarah nenek moyang dalam keluarga saya, tetapi bila pihak lain seperti pemkab, menjadikan rumah ini sebagai cagar budaya kami siap. Setidaknya kami ingin ada perhatian khusus sehingga rumah sabukh, akan awet sehingga dapat dilihatkan pada generasi berikutnya,” kata Bustoni.

Sementara itu, Kabupaten Lampung Barat mempunyai potensi besar di bidang pariwisata dan budaya, adat istiadat yang unik membuat kabupaten tersebut dijuluki kabupaten cagar budaya, karena mempunyai sebuah kerajaan, yang dijuluki kerajaan Skala Brak.

Sedangkan rumah suku Lampung mayoritas panggung, bertujuan untuk menghindari serangan binatang buas, dan rata-rata rumah panggung di daerah itu mencapai dua meter lebih.

Dari pengamatan di lokasi, mayoritas rumah “sabukh” terbuat dari dinding bambu yang disebut masyarakat sekitar dengan “khesi”, tidak hanya dinding, lantai rumah mereka juga terbuat dari bambu.

Luas bangunan rumah tua tersebut mencapai 5,5 x 10 meter yang terdapat dua sampai tiga kamar tidur, sedangkan luas ruangan sisa dipakai sebagai tempat pertemuan dan dapur, sedangkan kamar mandi dan MCK, masyarakat mengandalkan sungai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Peratin Pekon (Kepala Desa) Hujung, Kecamatan Belalau, Lampung Barat, Asmara Nita, mengatakan, pemkab harus peka dengan aset yang dimiliki.

“Melihat dari nilai yang terkandung, tentu menjadi harga mati untuk pemkab melakukan tindakan penyelamatan dan perawatan warisan budaya tersebut, sebab bila ditunda dengan waktu lama, maka keberadaan rumah itu akan tersingkir dengan bangunan rumah yang lebih canggih,” kata Asmara.

Dia menjelaskan, sangat layak rumah-rumah tersebut diberikan perhatian.

“Sebagai penyambung lidah dari masyrakat, kami ingin ketegasan pemkab, akan diapakan rumah ini, sayang peninggalan adat suku Lampung akan hilang, bila tidak cepat melakukan penyelamatan,” ujarnya. (ant/npy)

Kapanlagi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar